SEJARAH DAN LEGENDA GUNUNG BROMO
Berawal ketika kerajaan majapahit pada zaman dahulu kala mengalami
serangan dari berbagai daerah sehingga penduduk pribumi kerajaan
majapahit melarikan diri untuk mencari tempat tinggal baru demi
keselamatan hidup mereka dan pada akhirnya mereka terpisah menjadi 2
bagian yaitu pertama menuju kawasan gunung Bromo dan yang kedua menuju
Pulau Bali. Karena berasal dari lokasi yang sama sehingga ke 2 tempat
ini sampai sekarang mempunyai kesamaan akan budaya,agama,adat istiadat
yang sama yaitu menganut kepercayaan agama Hindu.
Sejarah Dan Legenda Gunung Bromo masyarakat
Suku Tengger yang berasa di kawasan Gunung Bromo berasal dari Legenda
Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger
itu. “Teng” akhiran nama Roro An-”teng” dan “ger” akhiran nama dari Joko
Se-”ger” dan Gunung Bromo sendiri dipercaya sebagai gunung suci. Mereka
menyebutnya sebagai Gunung Brahma. orang Jawa kemudian menyebutnya
Gunung Bromo.
” Joko Seger “ Dan “Rara Anteng”
Di
sebuah pertapaan, istri seorang Brahmana / Pandhita baru saja
melahirkan seorang putra yang fisiknya sangat bugar dengan tangisan yang
sangat keras ketika lahir, dan karenanya bayi tersebut diberi nama ”
Joko Seger “.
Di tempat sekitar
Gunung Pananjakan, pada waktu itu ada seorang anak perempuan yang lahir
dari titisan dewa. Wajahnya cantik dan elok. Dia satu-satunya anak yang
paling cantik di tempat itu. Ketika dilahirkan, anak itu tidak layaknya
bayi lahir. Ia diam, tidak menangis sewaktu pertama kali menghirup
udara. Bayi itu begitu tenang, lahir tanpa menangis dari rahim ibunya.
Maka oleh orang tuanya, bayi itu dinamai “Rara Anteng”.
Dari
hari ke hari tubuh Rara Anteng tumbuh menjadi besar. Garis-garis
kecantikan nampak jelas diwajahnya. Termasyurlah Rara Anteng sampai ke
berbagai tempat. Banyak putera raja melamarnya. Namun pinangan itu
ditolaknya, karena Rara Anteng sudah terpikat hatinya kepada Joko Seger.
Suatu
hari Rara Anteng dipinang oleh seorang bajak yang terkenal sakti dan
kuat. Bajak tersebut terkenal sangat jahat. Rara Anteng yang terkenal
halus perasaannya tidak berani menolak begitu saja kepada pelamar yang
sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan lautan di tengah-tengah gunung.
Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya pelamar sakti itu tidak akan
memenuhi permintaannya. Lautan yang diminta itu harus dibuat dalam waktu
satu malam, yaitu diawali saat matahari terbenam hingga selesai ketika
matahari terbit. Disanggupinya permintaan Rara Anteng tersebut.
Pelamar
sakti tadi memulai mengerjakan lautan dengan alat sebuah tempurung
(batok kelapa) dan pekerjaan itu hampir selesai. Melihat kenyataan
demikian, hati Rara Anteng mulai gelisah. Bagaimana cara menggagalkan
lautan yang sedang dikerjakan oleh Bajak itu? Rara Anteng merenungi
nasibnya, ia tidak bisa hidup bersuamikan orang yang tidak ia cintai.
Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya. Tiba-tiba timbul niat untuk
menggagalkan pekerjaan Bajak itu.
Rara
Anteng mulai menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan suara tumbukan
dan gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur. Kokok ayam pun
mulai bersahutan, seolah-olah fajar telah tiba, tetapi penduduk belum
mulai dengan kegiatan pagi.
Bajak
mendengar ayam-ayam berkokok, tetapi benang putih disebelah timur belum
juga nampak. Berarti fajar datang sebelum waktunya. Sesudah itu dia
merenungi nasib sialnya. Rasa kesal dan marah dicampur emosi dan pada
akhirnya Tempurung (Batok kelapa) yang dipakai sebagai alat mengeruk
pasir itu dilemparkannya dan jatuh tertelungkup di samping Gunung Bromo
dan berubah menjadi sebuah gunung yang sampai sekarang dinamakan Gunung
Batok.
Dengan kegagalan Bajak membuat
lautan di tengah-tengah Gunung Bromo, suka citalah hati Rara Anteng. Ia
melanjutkan hubungan dengan kekasihnya, Joko Seger. Kemudian hari Rara
Anteng dan Joko Seger menjadi pasangan suami istri yang bahagia, karena
keduanya saling mengasihi dan mencintai.
Pasangan
Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah
di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger,
maksudnya “Penguasa Tengger Yang Budiman”. Nama Tengger diambil dari
akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti
juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol
perdamaian abadi.
Dari waktu ke waktu
masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah
merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan
Jaka Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian
diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan
penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.
Tiba-tiba
ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun
dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus
dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger
menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun
naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya.
Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa
menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian
terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo
menyemburkan api.
Kusuma anak
bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo,
bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib :”Saudara-saudaraku
yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi
menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang
Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14
mengadakan sesaji yang berupa hasil bumi dan di persambahkan kepada
Hyang Widi asa di kawah Gunung Bromo. sampai sekarang kebiasaan ini
diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun
diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.